BAB II
PEMBAHASAN
A.
PROSES PENILAIAN
Penilaian kinerja merupakan salah
satu aspek penting dalam pengelolaan pegawai dalam suatu organisasi. Menurut
Gary Dessler (2008 : 290), penilaian kinerja adalah suatu prosedur yang
mengaitkan pengaturan standar kerja, mengukur kinerja terkini dari karyawan
yang dibandingkan dengan standar dan memberi timbal balik pada karyawan dengan
tujuan untuk memotivasi karyawan dan menghilangkan kinerja yang buruk atau
melanjutkan kinerja yang sudah baik. Sementara pengertian penilaian kinerja
menurut Noe, et al, (2000) bahwa penilaian kinerja hanya merupakan salah satu bagian dari proses manajemen
kinerja secara luas.
Manajemen kinerja didefinisikan
sebagai suatu proses dimana manajer yakin bahwa aktivitas dan output karyawan
telah sesuai dengan sasaran organisasi.Pemahaman mengenai kinerja yang
diharapkan menjadi starting point dalam penilaian kinerja.
Seluruh pegawai harus memahami konsep kinerja yang diterapkan dan memahami apa
yang diharapkan dari mereka.Kemudian, selutuh pihak yang terkait dengan
penilaian kinerja harus memahami aspek-aspek yang akan dijadikan penilaian
kinerja. Melalui pemahaman ini, kesalahpahaman mengenai penilaian kinerja dapat
diminimalisir.
Instrumen penilaian kinerja yang
valid dan reliabel merupakan hal yang tidak kalah pentingnya. Melalui instrumen
ini, akan dapat terdeteksi, pegawai yang mempunyai kinerja sesuai dengan yang
diharapkan dan pegawai yang belum mampu mencapai kinerja yang diharapkan.
Kepentingan adanya instrumen yang valid dan reliabel akan sangat terasa
manakala hasil penilaian dikaitkan dengan apresiasi dan program pengembangan
pegawai.
Selain hal-hal tersebut, hal
terpenting dalam proses penilaian kinerja adalah kepedulian pimpinan organisasi
terhadap perlunya penilaian kinerja. Pimpinan organisasi yang mempunyai
komitmen tinggi terhadap penilaian kinerja akan selalu berusaha mencari
cara-cara terbaik dan tepat dalam melakukan penilaian kinerja serta
melaksanakannya secara konsisten. Proses penilaian kinerja antara lain adalah
sebagai berikut:
1.
Penentuan sasaran
Penentuan
sasaran sebagaimana telah disebutkan harus spesifik, terukur, menantang dan
didasarkan pada waktu tertentu. Di samping itu perlu pula diperhatikan proses
penentuan sasaran tersebut, yaitu diharapkan sasaran tugas individu dirumuskan
bersama-sama antara atasan dan bawahan.
2.
Penentuan standar kinerja
Pentingnya
penilaian kinerja menghendaki penilaian tersebut harus benar-benar objektif,
yaitu mengukur kinerja karyawan sesungguhnya yang disebut dengan job related.
Sistem penilaian kinerja harus mempunyai standar, memiliki ukuran yang dapat
dipercaya dan mudah digunakan.
3.
Penentuan metode dan pelaksanaan penilaian
Metode
yang dimaksud adalah pendekatan atau cara serta perlengkapan yang digunakan
seperti formulir dan pelaksanaannya. Metode-metode itu seperti metode
perbandingan, tes, dan lain-lain.
4.
Evaluasi penilaian
Evaluasi
penilaian merupakan pemberian umpan balik kapada pegawai mengenai aspek-aspek
kinerja yang harus diubah dan dipertahankan serta berbagai tindakan yang harus
diambil, baik oleh organisasi maupun pegawai dalam upaya perbaikan kinerja pada
masa yang akan dating.
B. ALAT PENILAIAN KINERJA
Penilaian Kinerja Karyawan ada beberapa alat penilaian kinerja ( Noe et al .,
2000 ; Schuler & Jackson,1996 ):
1. Pendekatan perbandingan (Comparative approach).
a.
Rangking langsung.
(Ranking)
Dalam rangking langsung, atasan mengurutkan para pemegang
jabatan, dari yang terbaik sampai yang terburuk, yang biasanya berdasarkan
kinerja secara keseluruhan. Rangking semacam ini hanya cocok dalam organisasi
kecil karena semakin banyak pemegang jabatan maka semakin sulit melihat perbedaan-perbedaan
kinerja mereka.
b.
Rangking alternatif.
Penilai akan memilih pekerja yang terbaik untuk posisi
teratas dan pekerja terburuk di posisi terburuk. Kemudian memilih pekerja kedua
terbaik di posisi kedua terbaik dan pekerja terburuk kedua di posisi kedua
terburuk. Demikian seterusnya hingga posisi yang tengah dapat terakhir diisi.
c.
Perbandingan
berpasangan. (Paired Comparison)
Pendekatan
perbandingan berpasangan melibatkan perbandingan tiap individu dengan individu
lainnya, dua orang sekaligus, dengan standar tunggal untuk menentukan siapa
yang lebih baik. Urutan rangking individu dapat diperoleh dengan menghitung
berapa kali masing-masing individu terpilih sebagai yang lebih baik untuk satu
buah pasangan.
d. Metode distribusi paksaan. (Forced distribution)
d. Metode distribusi paksaan. (Forced distribution)
Istilah
distribusi paksaan digunakan untuk menggambarkan format penilaian dimana
penilai dipaksa mendistribusikan orang yang dinilai kepada beberapa kategori
kinerja. Penilaian tersebut biasanya menggunakan beberapa kategori yaitu dari
terendah (mewakili kinerja yang buruk) sampai dengan tingkat tertinggi (Mewakili
kinerja yang sangat baik.
2. Pendekatan berdasarkan sifat (attribute approach).
a. Skala rating grafik. (Graphic
Rating Scale)
Pada metode ini,
penilai menentukan dimensi kinerja yang akan dinilai. Kemudian penilai menentukan
kategori penilaian yang akan dilakukan. Kategori penilaian ini menggunakan
angka 5 untuk yang terbaik dan angka 1 untuk yang terburuk. Kemudian penilai
langsung menilai kinerja dari individu tersebut dan nilai yang dihasilkan akan
dijumlahkan. Individu dengan nilai yang tertinggi merupakan individu dengan
kinerja yang terbaik dan individu dengan nilai yang terendah merupakan individu
dengan kinerja terburuk.
b. Skala standar campuran.(Mixed standart scale)
Pada metode ini penilai
membuat beberapa pernyataan untuk menguji apakah karyawan tersebut telah
melaksanakan tugasnya dengan baik, lebih dari yang diminta atau bahkan kurang
dari yang diminta oleh atasan. Beberapa pernyataan tersebut haruslah
berhubungan dengan kemauan, kepandaian dan juga hubungan dengan masyarakat.
Apabila individu tersebut telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan penyataan
tersebut maka akan diberi nilai 0, jika kurang yang ada dalam penyataan maka
akan diberi nilai – dan jika lebih dari yang diminta maka akan diberi nilai +.
Selanjutnya semua pernyataan tersebut akan diberitingkatan (level) untuk
menentukan nilai. Nilai disetiap kategori pernyataan tersebut yang akan
menentukan tingkat kinerja dari individu tersebut.
3.
Pendekatan Berdasarkan Hasil (Result approach) (Schuler&Jackson,1996 : 205)
a. Manajemen berdasarkan sasaran (Management
by objectives)
Penilai
pada metode ini adalah orang-orang yang berpengalaman dan berkinerja tinggi
yang dapat mengembangkan strategi mereka sendiri. Cara kerja dari metode ini
adalah bagaimana suatu sasaran dapat tercapai dengan menguraingi ambiguitas dan
juga hambatan yang mungkin dapat menghalangi tercapainya sasaran. Penilaian
yang dilakukan dapat secara sederhana maupun secara rumit, bergantung pada
kebutuhan sasaran yang akan dicapai. Atasan dan bawahan akan sama-sama
melakukan evaluasi atas kegagalan yang mungkin terjadi dankemudian memutuskan
sasaran-sasaran baru yang dimungkinkan bagi sasaran yang belum tercapai
sebelumnya. Rata-rata sistem MBO membutuhkan waktu 2 tahun sesudah penerapannya
untuk berjalan dengan efektif.
b. Pendekatan standar kinerja.
Pendekatan
ini mirip dengan MBO hanya saja pendekatan ini lebih banyak menggunakan ukuran
langsung, dengan penekanan pada pengujian kinerja. Standar yang digunakan
adalah indikator-indikator kinerja yang diharapkan dan juga kinerja yang tidak
biasanya dilakukan.
c.
Pendekatan Indeks langsung.
Pendekatan
ini mengukur kinerja dengan kriteria impersonal obyektif, seperti
produktivitas, absensi dan keluar-masuknya karyawan. Ukuran-ukuran itu juga
dapat dipecah menjadi ukuran kuantitas yang dihasilkan dalam suatu waktu
tertentu.
4.
Pendekatan berdasarkan perilaku. (Schuler&Jackson, 1996 : 209)
a. kejadian kritis (Critical incident)
Pendekatan
dengan metode ini memerlukan kejelian dari penilai dalam mengamati setiap
perilaku orang yang dinilai. Penilai diharuskan untuk mencatat apa yang akan
dilakukan oleh orang tersebut apabila pada suatu waktu terjadi suatu kejadian
yang berbeda dengan yang biasa dia alami. Penilai melihat respon dari orang
yang dinilai, apakah orang tersebut dapat tetap fokus dan mendukung sasaran
yang telah ditetapkan atau bahkan malah
menghambat pencapaian sasaran yang telah ditetapkan.
b. Skala rating yang diberi bobot
menurut perilaku (Behaviorally Anchored Rating Scales)
Langkah
pertama yang harus dilakukan dalam metode ini adalah mengumpulkan data yang
menggambarkan perilaku yang baik, rata-rata, dan buruk untuk masing-masing
kategori jabatan. Kejadian-kejadian ini kemudian dikelompokkan menjadi dasar
penilaian yang akan dilakukan. Kemudian kejadian-kejadian tersebut diberi nilai
sesuai dengan kontribusinya pada kinerjanya.
c.
Skala pengamatan perilaku (Behavioral Observation Scales).
Metode ini
sangat mirip dengan BARS atau dengan Skala standar campuran. Perbedaan ini
adalah bahwa BOS menilai kinerja pelayanan karyawan dengan cara megamati
seberapa sering mereka melakukan kejadian-kejadian kritis (critical incidents)
serta frerkuensi kejadian-kejadian tersebut. Nilai diperoleh tiap pelaku dengan
memberi angkakepada penilaian frekuensi secara keseluruhan.
3. PERMASALAHAN
DALAM PENILAIAN KINERJA
Mondy dan Noe (2005) dan Gary Dessler mempunyai
pendapat yang hampir sama dalam permasalahn yang muncul dalam penilaian
kinerja. Terdapat enam masalah dalam penilaian kinerja dimana hal tersebut
sering terjadi dalam pelaksanaannya. Masalah tersebut dapat menyebabkan
ketidakakuratan dalam pengukuran sehingga juga dapat mempengaruhi kualitas
pengelolaan manajemen.
a. Kurangnya
objektivitas
Salah
satu kelemahan metode penilain kinerja tradisional adalah kurangnya
objektivitas. Dalam metode rating scale, misalnya, faktor-faktor yang
lazim digunakan seperti sikap, loyalitas dan kepribadian adalah faktor-faktor
yang sulit diukur. Penggunaan faktor-faktor yang terkait dengan pekerjaan (job
related factors) dapat meningkatkan objektivitas.
b. Bias
“Hallo error”
Bias
“Hallo error” terjadi bila penilai mempersepsikan satu faktor sebagai kriteria
yang paling penting dan memberikan penilaian umum baik atau buruk berdasarkan
faktor tunggal ini.
c. Terlalu
“longggar” / terlalu “ketat”
Penilai
terlalu “longggar” (leniency) kecenderungan memberi nilai tinggi kepada
yang tidak berhak, penilai memberi nilai lebih tinggi dari seharusnya. Penilai
terlalu “ketat” (strictness) terlalu kritis atas kinerja seorang pekerja
(terlalu “ketat” dalam memberikan nilai). Penilaian yang terlalu ketat biasanya
terjadi bila manajer tidak mempunyai definisi atau batasan yang akurat tentang
berbagai faktor penilaian.
d. Kecenderungan
memberikan nilai tengah
Kecenderungan
memberi nilai tengah (Central tendency), terjadi bila pekerja di beri
nilai rata-rata secara tidak tepat atau di tengah-tengah skala penilaian,
Biasanya, penilai memberi nilai tengah karena ingin menghindari kontroversi
atau kritik.
e. Bias
perilaku terbaru
Bias
perilaku terbaru (recent behavior bias) , perilaku atau kinerja yang
paling akhir akan lebih mudah diingat daripada perilaku yang telah lama.
Penilai cenderung lebih banyak menilai kinerja yang tampak menjelang atau pada
saat proses penilaian dilakukan. Seharusnya penilaian kinerja mencakup periode
waktu tertentu.
f. Bias
pribadi (stereotype)
Seseorang
yang melakukan penilaian bisa saja memiliki bias yang berkaiatan dengan
karakteristik pribadi pekerja seperti suku, agama, gender atau usia. Meskipun
ada peraturan atau undang-undang yang melindugi pekerja, diskriminasi tetap
menjadi masalah dalam penilain kinerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar