A. PENYEBAB KRISIS DI ASIA 1997
Krisis
keuangan Asia tahun 1997-1998 dipandang sebagai salah satu peristiwa ekonomi
yang paling signifikan dalam sejarah dunia baru-baru ini. Krisis dimulai pada awal
Juli 1997, ketika mata uang Baht Thailand jatuh. Pemerintah Thailand yang saat itu dibebani dengan utang luar negeri
yang amat besar, memutuskan untuk mengambangkan mata uang Baht setelah serangan
yang dilakukan oleh para spekulan mata uang terhadap cadangan devisa
negaranya. Pergeseran moneter ini bertujuan untuk merangsang pendapatan
ekspor namun strategi ini terbukti sia-sia dan
akhirnya berdampak pada Korea Selatan, Indonesia, Filipina, dan Malaysia. Ini
menyebabkan depresiasi mata uang dan resesi ekonomi yang mengancam pertumbuhan
ekonomi negara di Asia.
Sistem
keuangan domestik yang lemah sementara liberalisasi keuangan domestik
menyebabkan lonjakan arus modal ke bank-bank dalam negeri serta perusahaan yang
melakukan peminjaman dana jangka pendek dalam valuta asing besar-besaran ke
luar negeri. Hingga akhirnya
menghasilkan utang luar negeri yang melebihi nilai cadangan devisa. Secara
perlahan Thailanf kekurangan daya saing yang tercermin dari menurunya ekspor
dan meningkatnya defisit transaksi berjalan. Thailand mengurangi cadangan devisa sebagai sebuah
upaya untuk
mempertahankan mata uangnya namun nilanya terhadap dollar Amerika
terus merosot menyebabkan utang luar
negeri meroket dan memicu krisis. Pada pertengahan Januari
1998-an Baht Thailand kehilangan 52 persen nilainya terhadap dolar, sementara
rupiah kehilangan 84 persen nilainya terhadap dollar. Pendapat tentang keajaiban
Asia yang radikal berubah dari pujian menjadi kecaman akibat krisis keuangan
1997-1998. Asia yang diakui dunia sebagai kisah sukses sekarang dikecam
sebagai "kapitalisme kroni" oleh para analisa akuntansi mengkarakteriktikan sebagai
konsekuensi dari liberalisasi keuangan internasional dan peningkatan arus modal
internasional yang masuk.
Krisis
ekonomi tesrebut menyentak banyak pihak, mengingat pencapaian fantastis negara
seperti Thailand, Malaysia dan Korea Selatan. Pada saat terjadinya krisis,
modal asing yang masuk ke kawasan Asia merupakan separuh dari keseluruhan modal
asing di dunia. Modal asing masuk dengan cepat tanpa disertai dengan
kehati-hatian. Ditengah derasnya modal yang masuk, Thailand pada waktu sebelum
krisis menetapkan nilai tukar yang sejalan dengan dollar AS, sehingga risiko
nilai tukar pada saat itu seringkali diabaikan.
Menurut Stanley Fischer, ada tiga penyebab krisis terjadi di Asia :
1.
Kegagalan meredam inflasi di Thailand dan negara lain di Asia
akibat meningkatnya defisit sektor eksternal dan melambungnya harga properti
dan saham;
2.
Penggunaan sistem nilai tukar tetap (pegged exchange rate) yang terlalu lama sehingga mendorong
melonjaknya utang luar negeri, meningkatkan exposure
terhadap risiko nilai tukar baik sektor keuangan maupun korporasi;
3.
Aturan kehati-hatian dan pengawasan di sektor keuangan yang lemah
sehingga mengakibatkan buruknya kualitas kredit perbankan.
Penyebab lainya menurut Krugman, krisis terjadi karena adanya
jaminan terselubung dari pemerintah Thailand kepada lembaga kuangan yang
memberikan kredit penuh risiko yang pada akhirnya menimbulkan moral hazard dimana lembaga keuangan
cenderung menyalurkan dana pinjaman daripada memperkuat permodalanya. Pemberian
kredit penuh risiko oleh lembaga keuangan mendorong terjadinya inflasi bukan
pada harga barang, tetapi pada harga aset (tanah, property, saham).
B. PERAN IMF MENANGANI KRISIS
Negara-negara Asia dan negara Barat beserta Dana Moneter Internasional
(IMF) memberikan bantuan keuangan
sementara untuk membantu negara-negara terdampak krisis menyesuaikan neraca
pembayaran mereka. Mungkin
peran paling kontroversial adalah bahwa IMF. Kritikus berpendapat bahwa kebijakan moneter ketat dan
reformasi sektor keuangan yang melekat pada program pinjaman IMF memperburuk
krisis, sementara IMF mempertahankan pendapatnya bahwa mereka sangat membantu penyelesaian
krisis yang mana kebijakan IMF untuk meredam dampak krisis. Pemerintah, bank, dan perusahaan di negara-negara yang
terkena dampak krisis didakwa dengan "kelemahan mendasar" dalam
kurangnya transparansi dan pengawasan regulasi pada sistem keuangan domestik
adalah akar dari krisis tersebut. Pasar internasional dipandang telah bertindak panik, sehingga mendorong capital outflow besar-besaran dari negara-negara Asia Timur. Mengakibatkan resesi ekonomi yang mengejutkan dunia
sehingga berdampak pada lebih dari satu juta orang di Thailand dan sekitar 21
juta di Indonesia menemukan diri mereka berubah menjadi miskin hanya dalam
hitungan beberapa minggu, sebagai perusahaan bangkrut dan terjadi PHK, jutaan
orang kehilangan pekerjaan mereka.
Sebagai
catatan, IMF didirikan sebagai lembaga multilateral yang diharapkan mendorong
terciptanya kerjasama keuangan internasional, mendorong ekspansi dan
pertumbuhan perdagangan internasional yang berimbang, mendorong kestabilan
nilai tukar, membantu terciptanya sistim pembayaran internasional, mengusahakan
tersedianya likuiditas sementara bagi negara-ngara anggota yang mengalami
masalah neraca pembayaran dan menghilangkan kesenjangan neraca pembayaran
negara-negara anggotanya. Untuk mencapai tujuan dari statute tersebut, IMF
memfokuskan diri dalam tiga kegiatan yaitu: (1) Surveilliance: suatu proses dimana IMF menilai tahap kerja dan
kerangka kebijakan tiap anggotanya. (2) Financial
Assistance (bantuan keuangan) dan (3)Technical
Assistance (bantunan teknik). IMF dianggap gagal
untuk bertindak sebagai lender of last
resort, ketika pemberi pinjaman seperti itu paling dibutuhkan di Krisis
Asia.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh IMF dalam upaya
menyelesaikan krisis di Asia antara lain :
1.
Membantu negara-negara yang terkena
dampak krisis paling parah (Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia) melalui
program stabilisasi dan reformasi ekonomi;
2.
Memberikan bantuan pinjaman dana
kepada ketiga negara tersebut dan membantu menggalang bantuan dari sumber lain
untuk mendukung program reformasi tersebut;
3.
Menetapkan kebijakan moneter dan
fiskal ketat untuk menahan depresiasi mata uang lebih lanjut;
4.
Memperbaiki kelemahan sistem keuangan
dan melakukan reformasi keuangan secara menyeluruh;
5.
Reformasi struktural terhadap sektor
yang menghambat pertumbuhan ekonomi (monopoli, hambatan perdagangan, praktik
perusahaan yang tidak transparan);
6.
Membantu mempertahankan dan membuka
kembali sumber pembiayaan dari luar negeri; dan
7. Mempertahankan
kebijakan fiskal yang dianggap sudah baik, termasuk di dalamnya meningkatkan
anggaran bagi rekonstruksi sektor keuangan.
Sebelum membantu negara-negara yang terkena krisis, sesuai dengan isi dari
Konsensus Washington, IMF menyarankan negara-negara tersebut
mengimplementasikan 10 elemen sebagai berikut: (1) disiplin fiskal; (2)
prioritas pengeluaran publik; (3) reformasi pemungutan pajak; (4) liberalisasi
finansial; (5) kebijakan luar negeri yang mendorong persaingan; (6)
liberalisasi perdagangan; (7) mendorong kompetisi antara perusahaan asing dan
domestik untuk menciptakan efisiensi; (8) mendorong privatisasi; (9) mendorong
iklim deregulasi; (10) pemerintah melindungi hak kekayaan intelektual. Jika
dipersingkat dari 10 elemen di atas adalah, liberalisasi, deregulasi, dan
privatisasi. Dan ketiga syarat tersebut harus dilakukkan bagi negara yang ingin
dibantu oleh IMF. Nama programnya adalah Structural
Adjustment Program (SAP).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar