Kamis, 28 Januari 2016

Tugas Kuliah "KEBIJAKAN IMF DALAM MENANGANI KRISIS ASIA 1997"

Kebijakan IMF untuk meliberalisasi capital account dianggap  Joseph Stiglitz kurang tepat. Aliran modal jangka pendek yang bergerak secara pro-cyclical (modal bergerak ke pasar yang lebih stabil serta menguntungkan dan keluar dari pasar yang sedang mengalami resesi) sehingga modl dengan bebas keluar masuk. Kritik kedua berkenaan dengan  kebijakan IMF one-size-fits-all-recipe. IMF menggunakan resep yang sama untuk menangani krisis di Asia dengan krisis di Amerika Latin sebelumnya. Inilah yang dianggap salah oleh para analisa lainya kurang tepat untuk menyelesaikan krisis di negera-negara Asia  dengan menaikkan suku bunga dan pengetatan kredit dalam negeri untuk memperlambat pertumbuhan ekonomi, kebijakan fiskal ketat termasuk pemotongan subsidi pangan dan energi di Indonesia, yang kemudian  dibatalkan setelah kerusuhan pecah. Sementara Korea Selatan, diminta untuk menghapuskan  hampir semua pembatasan yang tersisa pada arus modal, termasuk yang berkaitan dengan pasar jasa keuangan domestik dan kontrol devisa. Target inflasi IMF untuk Korea Selatan adalah 5,2 persen untuk tahun 1998, dibandingkan dengan 4,2 persen untuk tahun sebelumnya. Namun, ketika mata uang Korea  Won terdepresiasi sebesar 80 persen, target ini  dibuat hampir  mustahil untuk mencapai tanpa resesi yang parah atau depresi.
IMF membuat kesalahan serius lainnya yang memburuk krisis. Salah satunya kemudian diakui sebagai kesalahan dalam memo internal  berupa paket bailout sebesar  USD $43 milyar  untuk memulihkan kepercayaan pasar terhadap rupiah Indonesia. Sebagai imbalannya IMF menuntut
beberapa langkah-langkah reformasi keuangan yang mendasar salah satunya adalah penutupan 16 bank swasta dan merestrukturisasi 10 bank lainya yang malah memicu penarikan dana besar-besaran pada bank-bank lain. Anggapan IMF bahwa pada saat itu tidak ada masalah ada sektor perbankan dan menilai bahwa masih cukup baik. Penutupan itu dilakukan karena ketiadaan strategi yang komprehensif dalam mengatasi bank yang pailit dan kesulitan likuiditas.
Milyaran rupiah ditarik dari tabungan, sehingga membatasi kemampuan bank untuk memberikan pinjaman dan memaksa Bank Indonesia untuk memberikan kredit dalam jumlah besar kepada bank-bank yang masih ada untuk mencegah krisis perbankan yang semakin parah. Selain itu, IMF tidak pernah berusaha untuk mengekang sistem patronase (alat yang dijalankan oleh Suharto untuk mempertahankan kekuasaan; dalam imbalan atas dukungan politik dan keuangan dia memberikan jabatan yang kuat kepada para keluarga, teman dan musuh sehingga menjadi kroni) yang dimiliki Presiden Soeharto dan yang merusak perekonomian negara dan juga merusak program IMF.
IMF juga dianggap gagal untuk mengatur utang luar negeri jangka pendek yang dimiliki oleh perusahaan non keuangan di Indonesia. Sehingga Indonesia tidak dapat menstabilkan mata uangnya dan ekonomi, dan perusahaan tidak bisa mendapatkan kredit yang diperlukan untuk impor dan bahkan ekspor. Mata uang Indonesia benar-benar jatuh hanya beberapa hari setelah perjanjian IMF kedua ditandatangani pada bulan Januari 1998. Jumlah dana yang dijanjikan jauh lebih kecil dari pada  yang dijanjikan USD $40 miliar dan terlalu terlambat untuk memperlambat kerusaka di Indonesia.
Dalam menghadapi krisis, IMF awalnya menganggap perdagangan / transaksi berjalan dan defisit  di masing-masing negara adalah penyebab terjadinya krisi. Jadi  IMF menekan pemerintah yang terkena dampak untuk mencapai surplus fiskal. Salah satu rekomendasi utama IMF adalah untuk menaikkan suku bunga untuk menarik arus modal internasional.  Di pertengahan krisis, mungkin setelah mengakui kesalahan diagnosis dan solusi awal, IMF menyalahkan tata kelola perusahaan yang dianggap menjadi permasalahan utama terjadinya krisis. Dengan demikian, IMF juga merekomendasikan mendefinisikan ulang aturan dana bantuanya yaitu dengan mengurangi setengah periode waktu setelah pinjaman akan dianggap sebagai "non-performing loan." Sebagai konsekuensinya di pertengahan tahun 1997 dan pada awal tahun 1998, kebangkrutan meningkat tajam di seluruh wilayah. 
Menyikapi berbagai kritik yang mengalir deras pada kepada IMF, IMF mengakui bahwa pada tahap awal mempertahankan capital outflow dan menahan depresiasi mata uang memang kurang berhasil. IMF mengemukakan beberapa faktor mengapa program yang diperkenalkanya tidak bisa menyelesaikan krisis dengan cepat antara lain (1) Pembalikan kebijakan oleh negara penerima
bantuan IMF. Seperti melonggarkan kembali kebijakan moneter ketat secara terburu-buru serta ketidakpastian politik dan (2) Ketidakseimabangan yang besar antara cadangan devisa dengan hutang jangka pendek yang akan jatuh tempo.
IMF bersikukuh bahwa kebijakan untuk menanggulangi krisis di Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia dirancang sesuai dengan kebutuhan mereka. Khususnya di Indonesia, dimana menurut IMF pemerintah Indonesia sering melakukan pembalikan kebijakan serta sempat keluarga Presiden Soeharto pada waktu itu mengajukan guguatan atas penutupan bank milik keluarga mereka. Alasan IMF menutup 16 bank tersebut karena Bank Indonesia secara terus menerus memberikan bantuan likuiditas sehingga BI kehilangan kontrol mereka.

Untuk memulihkan kepercayaan pasar, IMF memasukkan strategi restrukturisasi bank yang komprehensif, termasuk memperkenalkan program peminjaman (blanked guaranree) terhadap kewajiban bank dan membentuk suatu lembaga yang berfungsi mengambil alih bank yang mengalami likuiditas. Namun kenyataanya pada pertengahan Januari 1998 rupiah mencapai Rp.5000 per dollar AS. Baru pada bulan Agustus 1998, pasca Presiden Soeharto mundur dan digantikan oleh Wakil Presiden  BJ Habibie. Pemerintah bersama IMF menegosiasikan program EFF yang berlaku selama 26 bulan yang berhasil membantu merestrukturisasi utang luar negeri dan menyelamatkan Indonesia dari hyperinflation.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Motivasi dalam organisasi (macam teori)

  1.       Pengertian Motivasi Kata motivasi berasal dari bahasa latin yaitu movere yang mempunyai arti berpindah. Sehingga motivasi diarti...