Kebijakan IMF untuk meliberalisasi capital account
dianggap Joseph Stiglitz kurang tepat.
Aliran modal jangka pendek yang bergerak secara pro-cyclical (modal bergerak ke pasar yang lebih stabil serta
menguntungkan dan keluar dari pasar yang sedang mengalami resesi) sehingga modl
dengan bebas keluar masuk. Kritik kedua berkenaan dengan kebijakan IMF one-size-fits-all-recipe. IMF menggunakan resep yang sama untuk
menangani krisis di Asia dengan krisis di Amerika Latin sebelumnya. Inilah yang
dianggap salah oleh para analisa lainya kurang tepat untuk menyelesaikan krisis
di negera-negara Asia dengan menaikkan
suku bunga dan pengetatan kredit dalam negeri untuk memperlambat pertumbuhan
ekonomi, kebijakan fiskal ketat termasuk pemotongan subsidi pangan dan energi
di Indonesia, yang kemudian dibatalkan
setelah kerusuhan pecah. Sementara Korea Selatan, diminta untuk menghapuskan hampir semua pembatasan yang tersisa pada
arus modal, termasuk yang berkaitan dengan pasar jasa keuangan domestik dan
kontrol devisa. Target
inflasi IMF untuk Korea Selatan adalah 5,2 persen untuk tahun 1998,
dibandingkan dengan 4,2 persen untuk tahun sebelumnya. Namun, ketika mata uang Korea Won terdepresiasi sebesar 80 persen, target
ini dibuat hampir mustahil untuk mencapai tanpa resesi yang
parah atau depresi.
IMF membuat kesalahan serius lainnya yang memburuk
krisis. Salah
satunya kemudian diakui sebagai kesalahan dalam memo internal berupa paket bailout sebesar USD $43
milyar untuk
memulihkan kepercayaan pasar terhadap rupiah Indonesia. Sebagai imbalannya
IMF menuntut
beberapa langkah-langkah reformasi keuangan yang mendasar salah satunya adalah penutupan 16 bank swasta dan merestrukturisasi 10 bank lainya yang malah memicu penarikan dana besar-besaran pada bank-bank lain. Anggapan IMF bahwa pada saat itu tidak ada masalah ada sektor perbankan dan menilai bahwa masih cukup baik. Penutupan itu dilakukan karena ketiadaan strategi yang komprehensif dalam mengatasi bank yang pailit dan kesulitan likuiditas.
beberapa langkah-langkah reformasi keuangan yang mendasar salah satunya adalah penutupan 16 bank swasta dan merestrukturisasi 10 bank lainya yang malah memicu penarikan dana besar-besaran pada bank-bank lain. Anggapan IMF bahwa pada saat itu tidak ada masalah ada sektor perbankan dan menilai bahwa masih cukup baik. Penutupan itu dilakukan karena ketiadaan strategi yang komprehensif dalam mengatasi bank yang pailit dan kesulitan likuiditas.
Milyaran
rupiah ditarik dari tabungan, sehingga membatasi kemampuan bank untuk
memberikan pinjaman dan memaksa Bank Indonesia untuk memberikan kredit dalam
jumlah besar kepada bank-bank yang masih ada untuk mencegah krisis perbankan
yang semakin parah. Selain itu, IMF tidak pernah berusaha untuk mengekang
sistem patronase (alat yang dijalankan oleh Suharto untuk mempertahankan
kekuasaan; dalam imbalan atas dukungan politik dan keuangan dia memberikan
jabatan yang kuat kepada para keluarga, teman dan musuh sehingga menjadi kroni)
yang dimiliki Presiden Soeharto dan yang merusak perekonomian negara dan juga
merusak program IMF.
IMF juga dianggap gagal untuk mengatur utang luar negeri
jangka pendek yang dimiliki oleh perusahaan non keuangan di Indonesia. Sehingga Indonesia tidak dapat menstabilkan
mata uangnya dan ekonomi, dan perusahaan tidak bisa mendapatkan kredit yang
diperlukan untuk impor dan bahkan ekspor. Mata uang Indonesia benar-benar jatuh hanya beberapa hari
setelah perjanjian IMF kedua ditandatangani pada bulan Januari 1998. Jumlah
dana yang dijanjikan jauh lebih kecil dari pada
yang dijanjikan USD $40 miliar dan terlalu terlambat untuk memperlambat
kerusaka di Indonesia.
Dalam menghadapi krisis, IMF awalnya menganggap
perdagangan / transaksi berjalan dan defisit
di masing-masing negara adalah penyebab terjadinya krisi. Jadi IMF menekan
pemerintah yang terkena dampak untuk mencapai surplus fiskal. Salah satu rekomendasi utama IMF adalah untuk menaikkan
suku bunga untuk menarik arus modal internasional. Di pertengahan krisis,
mungkin setelah mengakui kesalahan diagnosis dan solusi awal, IMF menyalahkan
tata kelola perusahaan yang dianggap menjadi permasalahan utama terjadinya
krisis. Dengan demikian, IMF juga merekomendasikan mendefinisikan
ulang aturan dana bantuanya yaitu dengan mengurangi setengah periode waktu
setelah pinjaman akan dianggap sebagai "non-performing loan." Sebagai konsekuensinya di pertengahan
tahun 1997 dan pada awal tahun 1998, kebangkrutan meningkat tajam di seluruh
wilayah.
Menyikapi berbagai kritik yang
mengalir deras pada kepada IMF, IMF mengakui bahwa pada tahap awal
mempertahankan capital outflow dan
menahan depresiasi mata uang memang kurang berhasil. IMF mengemukakan beberapa
faktor mengapa program yang diperkenalkanya tidak bisa menyelesaikan krisis
dengan cepat antara lain (1) Pembalikan kebijakan oleh negara penerima
bantuan IMF. Seperti melonggarkan
kembali kebijakan moneter ketat secara terburu-buru serta ketidakpastian
politik dan (2) Ketidakseimabangan yang besar antara cadangan devisa dengan hutang jangka
pendek yang akan jatuh tempo.
IMF bersikukuh bahwa kebijakan untuk menanggulangi krisis di
Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia dirancang sesuai dengan kebutuhan
mereka. Khususnya di Indonesia, dimana menurut IMF pemerintah Indonesia sering
melakukan pembalikan kebijakan serta sempat keluarga Presiden Soeharto pada
waktu itu mengajukan guguatan atas penutupan bank milik keluarga mereka. Alasan
IMF menutup 16 bank tersebut karena Bank Indonesia secara terus menerus
memberikan bantuan likuiditas sehingga BI kehilangan kontrol mereka.
Untuk memulihkan kepercayaan pasar, IMF memasukkan strategi
restrukturisasi bank yang komprehensif, termasuk memperkenalkan program
peminjaman (blanked guaranree)
terhadap kewajiban bank dan membentuk suatu lembaga yang berfungsi mengambil
alih bank yang mengalami likuiditas. Namun kenyataanya pada pertengahan Januari
1998 rupiah mencapai Rp.5000 per dollar AS. Baru pada bulan Agustus 1998, pasca
Presiden Soeharto mundur dan digantikan oleh Wakil Presiden BJ Habibie. Pemerintah bersama IMF
menegosiasikan program EFF yang berlaku selama 26 bulan yang berhasil membantu
merestrukturisasi utang luar negeri dan menyelamatkan Indonesia dari hyperinflation.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar