Besowo, 25
Juli 2014
Pemilihan Umum presiden yang diselenggarakan pada hari rabu,
9 Juli 2014 lalu yang sekaligus bertepatan dengan datangnya bulan ramadhan
disambut suka cita oleh seluruh bangsa Indonesia khususnya bagi mereka yang
telah memiliki hak untuk memilih. Hiruk – pikuk pesta demokrasi yang hanya
diikuti oleh dua kandidat kuat ini memang sangat panas dimana kedua kandidat
memiliki basis masa dan pengatuh yang luar biasa. Calon presiden dan calon
wakil presiden nomor urut satu Prabowo Subianto dan Mohamad Hatta. Sedangkan
nomor dua ada Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri
telah merampungkan tugasnya pada tanggal 22 Juli kemarin setelah 2 hari proses
rekapitulasi suara nasional. Dimana real count menunjukkan pasangan Jokowi-JK
menang dengan unggul sekian persen dari Prabowo-Hatta.
Pada kali ini saya hanya ingin membahas dan sedikit membahas
peristiwa yang terjadi pada tanggal 22 Juli kemarin. Dimana seperti kita
ketahui pada saat proses rekapitulasi nasional pihak dari Prabowo menyatakan
sikap mengundurkan diri dari proses rekapitulasi suara nasional dengan alasan
karena banyak sekali pelanggaran yang terjadi selama proses pemungutan dan
perhitungan suara mulai dari tingkat TPS yang menurut kubu tim sukses
Prabowo-Hatta KPU selalu mengabaikan semua pelanggaran yang merugikan pihak
Prabowo-Hatta.
Saya termasuk satu dari sekian juta orang di Indonesia yang
memberikan hak suara saya kepada pasangan Prabowo-Hatta. Saya sudah sejak dulu
menyukai dan
menjatuhkan pilihan kepada Prabowo sebagai pemimpin Indonesia selajutnya. Namun saya disini bukan kader ataupun pendukung fanatik
dari beliau. Saya hanya satu dari sekian orang yang meyakini bahwa beliau mempu
mengemban tugas menjadi kepala negara dan kepala
pemerintahan untuk periode lima tahun kedepan.
Terlepas dari
kenyataan yang memang tak sesuai harapan saya. Saya sangat menyayangkan sikap
Prabowo yang menarik diri dari proses perhitungan suara dengan alasan diatas. Memang
kita tidak bisa menampik masih banyak yang perlu dibenahi dalam proses
pemungutan, perhitungan hingga proses rekapitulasi tingkat nasional. Namun jika
kita berbicara tentang kecurangan yang masih terstruktur seperti yang
disampaikan Prabowo, harusnya penyampaian keberatan sudah sejak dulu dilakukan
pada saat proses perhitungan di tingat TPS dan proses rekapitulasi tingkat
kelurahan dan tingkat kecamatan terlepas digubris apa tidaknya pelanggaran itu. Dan apabila pada saat itu tim sukses Prabowo-Hatta sudah
menyampaikan pelanggaran – pelanggaran yang merugikan dan keberatan terhadap
hasil perhitungan, harusnya para saksi yang ditempatkan di tingkat TPS, PPS dan
KPUD tidak menandatangani berita acara perhitungan suara dimana di tingkat TPS
adalah Model C1 dan C plano, begitu pula untuk saksi di tingkat PPS kelurahan,
PPK, dan KPU daerah sebagai wujud keberatan atas pelanggaran yang terjadi dan
sebagai wujud keberatan. Namun pada kenyataanya dapat diselenggarakanya proses
rekapitulasi nasional salah satu indikatornya adalah telah rampungnya
rekapitulasi daerah dan jika rekapitulasi di tingkat daerah sudah rampung berarti
tidak ada masalah lagi ditingkat daerah dan rekapitulasi dianggap sudah clear.
Menurut saya menarik diri dari proses rekapitulasi nasional
sebagai wujud ketidak puasan terhadap pelanggaran yang terjadi bukanlah pilihan
yang terbaik. Ini sudah terlambat untuk mengatakan tidak terima terhadap
pelanggaran pemilu yang terjadi karena semua saksi – saksi ditingkat bawah
sudah menyetujui hasil perhitungan. Entah apa alasan penarikan diri dan
pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi yang jelas saya sangat menyayangkan
sikap tersebut. bukankah jauh lebih baik menerima keputusan Komisi Pemilihan
Umum dan
bersama – sama berkontribusi mempercepat pembangunan negeri. Katanya cinta
tanah air, , , ,